Riwayat Hidup Buya Hamka
BUYA
HAMKA ( 1908 M – 1981 M )
A.Biografi
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau,
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di
Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun)[1]
adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis
politik.[2] Ia
baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya
Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang
paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah
Fansuri di era modern.[3]
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku
atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah,
pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti
Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung,
sebagaimana suku ibunya.
B..Jejak
Intelektual
Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, bangunannya
merupakan rumah tempat Hamka dilahirkan. Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisai
mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama
dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera
Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan
mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling disukainya.[4]
Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt.
Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku
yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra.
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk
menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad
Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian
ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke
Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk
sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan
Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan
tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[5]
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak
mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo,
memaklumkan Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun
temurun dalam suku Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan
Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara
laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang
anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah,
Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu
setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan
seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia
mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai
anak.[6]
C..Karier
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang
Panjang pada tahun 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun
1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah.
Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan
Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai
oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan.[7]
Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh
Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama
dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa
manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama
yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh
Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba
menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut
diberi nama "al-Mahdi".[8]
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan
kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M.
Yunan Nasution—ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad
Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah
mingguan Pedoman Masyarakat.[9]
Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka,[10] melalui
rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik
masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan
membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya
di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung
antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus
Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang.
Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul
Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan
beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi
Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah
Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang
menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi
koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke
beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein
dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa
buku roman. Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan
Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan
Hidup pada tahun 1951,[11]
dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah
setempat.[12]
C..Politik
Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.[13]
Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili Jawa
Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut
tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur,
akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya
yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan
berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan
sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966.
Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung,
dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan.
Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya.[14]
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum
Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan
fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan
memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan
diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah
mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai
ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.[15]
Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan
jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang
tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.[16]
D..Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis,
editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah
surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun
1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka
juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan
Gema Islam.[17]
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris
dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee,
Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam
dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku
romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian,
ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi
dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi,
tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di
antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah
juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo. atas jasa-jasanya dalam
penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni
1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional
Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof.
Dr. Moestopo.[18]
E..Karya-Karya
Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis
novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut buku karangan
tersebut:
1) Kenang-Kenangan
Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
2) Ayahku
(Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka
Wijaya, 1958.
3) Khatib
al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4) Islam
dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5) Kepentingan
Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6) Majalah
Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
7) Majalah
al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
8) Bohong
di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
9) Agama
dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
10) Pedoman
Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
11) Majalah
Semangat Islam, 1943.
12) Majalah
Menara, Padang Panjang, 1946.
13) Hikmat
Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
14) Negara
Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
15) Islam
dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
16) Revolusi
Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
17) Dibandingkan
Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
18) Muhammadiyah
Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
19) Revolusi
Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
20) Sesudah
Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
21) Tinjauan
Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
22) Pribadi,
1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
23) Falsafah
Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
24) Falsafah
Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
25) Urat
Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
26) Pelajaran
Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
27) K.H.
A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
28) Perkembangan
Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
29) Pribadi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
30) Pandangan
Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
31) Lembaga
Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura
oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
32) 1001
Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
33) Cemburu,
Jakarta: Firma Tekad, 1962.
34) Angkatan
Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
35) Ekspansi
Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
36) Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah
yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
37) Sayyid
Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
38) Lembaga
Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
39) Dari
Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
40) Hak-Hak
Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
41) Gerakan
Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
42) Hubungan
antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
43) Islam,
Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
44) Islam
dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
45) Mengembalikan
Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
46) Beberapa
Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
47) Kedudukan
Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
48) Muhammadiyah
di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
49) Tanya
Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
50) Studi
Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
51) Perkembangan
Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
52) Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
53) Ghirah
dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
54) Kebudayaan
Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55) Lembaga
Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
56) Tasawuf
Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57) Doktrin
Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu,
1983.
58) Islam:
Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
59) Iman
dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
60) Renungan
Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
61) Filsafat
Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
62) Keadilan
Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
63) Tafsir
al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
64) Prinsip-prinsip
dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
65) Tuntunan
Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
66) Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
67) Islam
dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
68) Mengembara
di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
69) Di
Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
70) Mandi
Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
71) Empat
Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
72) Merantau
ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
73) Si
Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
74) Laila
Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
75) Salahnya
Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
76) Keadilan
Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
77) Angkatan
Baru, Medan: Cerdas, 1949.
78) Cahaya
Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
79) Menunggu
Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
80) Terusir,
Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
81) Di
Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
82) Di
Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
83) Tuan
Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
84) Dijemput
Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
85) Cermin
Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
86) Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
87) Pembela
Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
88) Ringkasan
Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
89) Sejarah
Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
90) Dari
Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
91) Antara
Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
92) Sejarah
Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
93) Sullam
al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim
Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
94) Margaretta
Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.[19]
Hasil tulisan beliau ini banyak memberi petunjuk dan
ilham kepada para pembacanya. Malah karya-karya Almarhum Pak Hamka mampu
membangkit semangat perjuangan seperti karya-karyanya dalam majalah selepas
perang. Majalah Panji Masyarakat sendiri telah telah diharamkan oleh pemerintahan
Sukarno dalam tahun 1960 yaitu setahun selepas penerbitannya. Bagaimanapun,
majalah ini diterbitkan semula dalam pemerintahan order baru Suharto tahun
1966.
Pak Hamka pernah dipenjarakan awal tahun 1960an.
Zaman pemerintahan Sukarno dan ketika komunis bermaharajalela, selain ditangkap
buku-buku Almarhum ada yang dibakar. Di dalam penjara inilah, beliau melahirkan
kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan untuk umat sekarang. Penahanan batang
tubuhnya dalam sangkar besi itu tidak dapat membunuh semangatnya untuk
beribadah kepada Tuhannya. Penyusun pernah membaca kisah riwayat Presiden Sukarno
yang penuh kontroversi itu. Dinyatakan apabila bekas Presiden itu meninggal
dunia, Pak Hamka telah dijemput dan dirayu supaya mengimami sholat jenazah
Sukarno. Peringkat awalnya, Almarhum agak keberatan menunaikannya kerana sikap
Sukarno masa hidupnya amat dipertikaikan. Namun apabila teringat tentang sifat
Allah yang Maha Pengampun untuk mengampun dosa-dosa hambaNya. Buya Hamka maju
juga ke hadapan untuk mengetuai sholat jenazah itu, dikatakan saat akhir
hidupnya Sukarno mulai kembali kepada fitrah mengingati penciptanya.
F..Wafatnya
Ulama
istimewa ini kembali menemui Al Khaliqnya sewaktu berusia 72 tahun pada 24 Juli
1981. Almarhum mengalami serangan penyakit jantung. Dan Beliau dikebumikan di
TPU tanah Kusir, Jakarta Selatan. Penyusun berharap agar paparan kisah hidup
tokoh nusantara yang agung ini dapat mengimbau kembali kenangan kita terhadap
Pak Hamka yang dikasihi dan kita tidak rugi apabila mengingati orang-orang yang
soleh karena ia dapat mendatangkan rahmah. Rasulullah sendiri pernah bersabda:
“ Sesungguhnya perbandingan ulama di bumi sepertilah bintang- bintang di langit
yang boleh dijadikan panduan di dalam kegelapan di bumi dan di laut..” Golongan
yang coba mengelak diri dari mendampingi ulama atau memusuhi mereka yang ikhlas
untuk memandu kita di dunia ini perlulah berwaspada. Ingatlah, peringatan Allah
SWT dalam Hadith Qudsi :“ Barang siapa memusuhi waliKu ( ulama), maka Aku akan
mengumumkankan perang terhadapnya” ( Riwayat Al Bukhari). Beliau Adalah Tokoh
Ulama Indonesia Yang dikagumi dan disegani baik oleh kawan dan lawan.[20]
[1] Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka
Press
[2] M.D., Pandoe; Pour, J. (2010). Jernih
Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas.
Penerbit Buku Kompas
[3]Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka.
Pustaka Panjimas. 12 Juni 1983.
[4] Shobahussurur (2008). Mengenang 100
Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
[5] Mohammad, Herry (2006). Tokoh-Tokoh
Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani
[6] Abdurrahman, M. (2009). Bersujud Di
Baitullah. Penerbit Buku Kompas
[7] Riddell, P. G.
(2001). Islam And The Malay-Indonesian
World: Transmission And Responses. C. Hurst & Co. Publishers
[8] Hamka (1966). Kenang-Kenangan Hidup.
Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
[9] Mohammad, Herry (2006). Tokoh-Tokoh
Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani
[10] Zakariya, H. (2006). Islamic Reform In
Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin And Sayyid Shaykh Al-Hadi
[11] Rodgers, Susan (1995). Telling Lives,
Telling History: Autobiography And Historical Imagination In Modern Indonesia.
University Of California
[12] Daneel, Inus (2005). Fullness Of Life
For All - Challenges For Mission In Early 21st Century. Rodopi.
[13] Hamka (1966). Kenang-Kenangan Hidup.
Kuala Lumpur: Pustaka Antara
[14] Cukup Allah Sebagai Pelindung: Kisah
Hamka Di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011
[15] Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming The
Conversation: Islamic Intellectual Tradition In The Malay Archipelago. The
Other Press.
[16] Hamka, Afif
(2008). Buya Hamka. Uhamka
Press
[17] Hamka, Rusydi
(1983). Pribadi Dan Martabat Buya
Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[18] Ibid, Hamka Rusdy (1983)
[19]
Wikipedia.Org/Wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah
[20]
Www.2lisan.Com/3408/Biografi-Prof-Dr-Hamka-Buya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar